Perbedaan yang Mencerahkan: Mengurai Garis Kemiskinan BPS dan Bank Dunia - Berita dan Siaran Pers - Badan Pusat Statistik Kota Gorontalo

Dalam rangka menampung masukan serta pengaduan terhadap layanan BPS Kota Gorontalo, silahkan laporkan pengaduan anda melalui TAUTAN INI Terima Kasih

Perbedaan yang Mencerahkan: Mengurai Garis Kemiskinan BPS dan Bank Dunia

Perbedaan yang Mencerahkan: Mengurai Garis Kemiskinan BPS dan Bank Dunia

21 Mei 2025 | Kegiatan Statistik Lainnya


Oleh: Eka Nurdiyanto
BPS Kota Gorontalo

Bank Dunia dalam Macro Poverty Outlook yang diterbitkan di awal April 2025 menyebutkan bahwa sekitar 60,3 persen penduduk Indonesia di tahun 2024 berada di bawah garis kemiskinan. Angka ini kemudian menjadi sorotan oleh banyak pihak karena nilainya yang jauh lebih tinggi dibandingkan angka kemiskinan yang dirilis oleh BPS, yaitu sebesar 8,57 persen di September 2024. Banyak opini publik yang kemudian keluar menanggapi hal ini, beberapa pihak beranggapan bahwa angka kemiskinan BPS terlalu rendah, tidak masuk akal, bahkan nilainya sengaja dimanipulasi. Di lain pihak, ada yang beranggapan angka kemiskinan dari Bank Dunia yang justru nilainya terlalu tinggi dan tidak mencerminkan kondisi penduduk Indonesia. Lantas, seperti apakah seharusnya kita memaknai perbedaan angka kemiskinan tersebut?


Bank Dunia sendiri dalam publikasi resminya terkait kemiskinan “World Development Report 1990-Poverty” mendifinisikan kemiskinan sebagai the inability to attain a minimal standard of living (ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar). Dari definisi ini, maka jelas terlihat bahwa seseorang dikatakan miskin ketika dia tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Untuk lebih memudahkan dalam pengukurannya, Bank Dunia kemudian membuat suatu batasan yang dikenal dengan istilah poverty line atau garis kemiskinan.


Garis kemiskinan inilah yang kemudian menunjukan berapa banyak pengeluaran minimal yang harus dikeluarkan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar baik berupa makanan maupun non-makanan. Selanjutnya, seseorang yang hidup dengan pengeluaran di bawah garis kemiskinan dikatakan sebagai penduduk miskin.

Konsep yang digunakan Bank Dunia tersebut pada akhirnya digunakan oleh berbagai negara dalam mengukur kemiskinan, termasuk Indonesia. Secara konsisten, BPS telah menggunakan konsep tersebut dalam mengukur kemiskinan Indonesia hingga saat ini. Jika telah menggunakan konsep yang sama, lalu kenapa angka kemiskinannya bisa berbeda?


Perlu dipahami bahwa perbedaan angka ini bukan karena salah satu datanya salah dan saling bertentangan. Perbedaan standar garis kemiskinan yang digunakan dan perbedaan tujuan penghitungan kemiskinan menyebabkan hasil yang berbeda. Bank Dunia menghitung angka kemiskinan dengan tujuan untuk memonitor progres pengentasan kemiskinan global. Penggunaan garis kemiskinan spesifik setiap negara menjadi kurang representatif untuk tujuan tersebut karena diperlukan garis kemiskinan yang mampu menggambarkan perbandingan antar negara dan agregasi secara global. Dengan kata lain, garis kemiskinan Bank Dunia yang dibangun dalam konteks global belum tentu dapat merepresentasikan karakteristik spesifik setiap negara, termasuk Indonesia.


Saat ini, Bank Dunia menggunakan 3 nilai garis kemiskinan global. Yang pertama adalah garis kemiskinan global untuk menghitung tingkat kemiskinan ekstrem (US$ 2,15 per kapita per hari). Yang kedua adalah sebesar US$ 3,65 per kapita per hari untuk negara-negara berpendapatan menengah bawah (lower-middle income). Yang ketiga sebesar US$ 6,85 per kapita per hari untuk negara-negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income). Ketiga garis kemiskinan ini dinyatakan dalam US$ PPP atau purchasing power parity, yaitu metode konversi yang mencerminkan kesetaraan daya beli antarnegara. Sehingga garis kemiskinan Bank Dunia tersebut tidak bisa dikonversi ke mata uang rupiah dengan menggunakan nilai kurs tukar dollar terhadap rupiah. Besaran US$ 1 PPP tahun 2024 adalah setara dengan Rp5.993,03.


Angka kemiskinan yang sebesar 60,3 persen berdasarkan data Bank Dunia, diperoleh dengan penghitungan menggunakan garis kemiskinan US$ 6,85 PPP per kapita per hari. Garis kemiskinan tersebut merupakan median garis kemiskinan 37 negara berpendapatan menengah atas (upper middle income country-UMIC), bukan berdasarkan kebutuhan dasar penduduk Indonesia secara spesifik.


Indonesia memang sudah termasuk dalam kategori negara berstatus UMIC, yaitu negara-negara dengan pendapatan per kapita diantara US$ 4.516 - US$14.005. Tapi perlu diketahui bahwa berdasarkan data dari Bank Dunia, pendapatan per kapita Indonesia hanya sebesar US$ 4.897,7 di tahun 2024, sedikit di atas ambang batas bawah UMIC (US$ 4.516) dan sangat jauh di bawah ambang batas atas (US$14.005). Kondisi inilah yang menyebabkan penggunaan garis kemiskinan Bank Dunia sebesar US$ 6,85 PPP per kapita per hari akan menghasilkan angka kemiskinan yang cukup tinggi di Indonesia.


Berdasarkan data di atas, dapat dikatakan bahwa penggunaan garis kemiskinan Bank Dunia sebesar US$ 6,85 PPP per kapita per hari sebenarnya belum representatif untuk menggambarkan kemiskinan secara spesifik di Indonesia. Selain itu, penggunaan data pendapatan per kapita sebagai ukuran rata-rata untuk menilai kemajuan suatu negara juga memiliki kelemahan, yaitu tidak dapat memperlihatkan bagaimana pendapatan didistribusikan antar kelompok penduduk. Apalagi di negara dengan tingkat ketimpangan yang tinggi seperti Indonesia, ukuran rata-rata tersebut justru bisa saja menyesatkan. Kelompok penduduk dengan pendapatan tinggi dapat mengangkat pendapatan nasional, padahal sebagian besar penduduk lainnya jauh tertinggal. Status UMIC yang diraih Indonesia bisa saja hanya pencapaian semu karena masih terasa jauh dari kenyataan hidup banyak penduduk Indonesia.


BPS sendiri dalam menghitung angka kemiskinan menggunakan garis kemiskinan yang dihitung berdasarkan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan. Komponen makanan didasarkan pada standar konsumsi minimal 2.100 kilokalori per orang per hari, dan komponen non-makanan mencakup kebutuhan minimum untuk tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pakaian, dan transportasi.


Garis kemiskinan ini dihitung dengan mempertimbangkan karakteristik pengeluaran dan pola konsumsi masyarakat Indonesia termasuk variasi pemenuhan dasar antar wilayah. Penghitungan garis kemiskinan juga dilakukan secara spesifik untuk level provinsi maupun kabupaten/kota, sehingga garis kemiskinan yang dihitung BPS dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat Indonesia. Penghitungan garis kemiskinan ini juga telah sesuai dengan pesan dari Bank Dunia yang menyebutkan bahwa untuk mengukur kemiskinan di dalam suatu negara, maka diperlukan garis kemiskinan nasional yang secara spesifik menunjukan karakteristik serta kondisi ekonomi dan sosial di dalam negara tersebut.


Perlu sama-sama kita pahami bahwa garis kemiskinan tidak membedakan penduduk ke dalam kelompok miskin dan kaya, tetapi penduduk yang miskin dan tidak miskin. Penduduk yang berada di atas garis kemiskinan belum tentu otomatis tergolong sejahtera atau kaya tetapi masih ada kelompok hampir miskin yang sangat rentan untuk terdorong masuk ke kelompok miskin. Terlepas dari perbedaan angka kemiskinan ini, mari kita jadikan keduanya sebagai data yang saling melengkapi dan memperkaya analisis kemiskinan di Indonesia dalam upaya mengentaskan kemiskinan, bukan untuk saling dipertentangkan. Karena kedua angka ini dihitung bukan dari hasil manipulasi, tetapi murni karena perbedaan pendekatan yang digunakan dalam menghitung garis kemiskinan.

Berita dan Siaran Pers Terkait

Badan Pusat Statistik

Badan Pusat Statistik

Badan Pusat Statistik Kota GorontaloJalan Dewi Sartika No. 21

Kota Tengah

Kota GorontaloTelp. (0435)-821956

Fax: (0435)-826644

E-mail: [email protected]

logo_footer

Hak Cipta © 2023 Badan Pusat Statistik